[Book Review] Braga Siang Itu
Braga Siang Itu. Gambar diambil dari Andi Publisher |
Penulis : Triani Retno A
Judul : Braga Siang Itu
Penerbit : Sheila (Imprint Penerbit Andi)
Cetakan : 2013
Jumlah hal. : iv + 140 halaman
ISBN : 978-979-29-4157-9
Harga
: Rp 29000
Kategori
: Fiksi (Kumpulan Cerpen)
Luka-Liku Kehidupan
Ketika
melihat judul buku tersebut yang diupload oleh penulisnya via facebook, saya
bisa memastikan langsung bawa Braga adalah nama suatu tempat di Bandung.
Mengingat sang penulis, “Teh Eno” selalu menuliskan karyanya dengan setting di
daerah tersebut dan beliau juga tinggal di sana. Ketika ada giveaway buku
tersebut di blog kak Atria
langsung saja saya ikutan nggak mau ketinggalan.Alhamdulillah saya memenangkannya.
Lima belas cerpen dalam buku ini
mengisahkan seputar kehidupan yang kebanyakan tokoh utamanya perempuan. Teh Eno
lihai dalam mengambil ide dalam kesehariannya, di setiap ceritanya saya bisa
menebak bahwa beberapa karakter dalam tokoh ini adalah murni beliau, melihat
ada anak kembar, single parent dan
beberapa hal yang merujuk ke sana. Bukan membicarakan si penulis namun saya envy keproduktifitasan beliau dalam
meracik cerita.
Braga Siang Itu, judul yang diambil dari novel berlatar Mei 1998
dan Januari 2012. Kisah Ben dan Fei, mahasiswa dari sebuah universitas yang
ingin memperjuangkan hak rakyat dengan mengadakan sebuah demonstrasi. Ambisi
Ben untuk membela kepentingan rakyat berputar balik haluan. Fei kehilangan Ben
yang dulu, Ben sudah berubah dan hadirlah sosok Ron sebagai penengah sekaligus
seseorang yang baru dalam kehidupan Fei.
Bunda, Ibu yang Tak Pernah Ada, tokoh “aku” yang mengagumi sosok
Rahmi; gadis kecil yang menjual jasa tenaga untuk membawakan belanjaan berat di
pasar yang enggan dibawa sang empunya. Si Aku suka mendengarkan cerita dari Rahmi
yang memiliki latar belakang keluarga harmonis. Si Aku ingin bertukar tempat
dengan Rahmi, namun di kemudian si Aku ini merasa jauh lebih beruntung dari
seorang Rahmi.
Sansevieria, tanaman yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang
berarti Lidah mertua. Kehidupan rumah tangga yang selalu direcokin oleh mertua
si lelaki, dan sang wanita menumpahkan kekesalan itu dengan menanam lidah
mertua.
Saat Malin Bertanya, kisah si Malin yang selalu penasaran dengan
namanya. Kenapa ibunya memberi nama Malin, dan kenapa ibunya selalu saja
mengumpatinya dengan kata-kata kasar. Seolah perangai ibu yang lemah lembut
penuh kasih sayang jauh dari harapan.
Masih ada cerpen lainnya dengan
judul: Sarapan, Undangan, Suara, Ceu
Kokom, Bunda Tak Tersenyum, Surat Untuk Presiden, Merajut Hari, Hati yang tak
kunjung damai, Gunting, Gigi dan
Hujan.
Kalau ditanya cerpen mana yang paling saya suka adalah; Hujan. Cerita yang apik, dua wanita
dengan dua nasib berbeda yang bertemu di atas angkutan. Hanya bermodalkan
sebuah payung kecil yang menaungi mereka berdua mereka menjadi teman. Sesimpel itu
saja.
Moral of the story-nya:
Begitulah sebuah cerita dalam kehidupan, tak melulu harus
sempurna. Sebab seseorang yang dengan apa adanya menerima, hadir dan melengkapi
kita akan jauh lebih membuat kita merasa sempurna.(*)
apik nyiii jadi pengen baca
BalasHapus