Aku memejamkan mataku, dan tahun-tahun itu mulai bergerak merasuki ingatanku. Perlahan, berputar, berkunjung ke masa lalu. Layaknya jarum jam berputar ke arah berlawanan. Kadang adakalanya aku ber harap semua kesedihan yang terjadi di sana ditiadakan. Tapi sebagian perasaanku berkata, kalau aku melakukannya, hal-hal yang membahagiakan juga ikut sirna. Semakin bertambahnya usiaku, aku semakin menyadari setiap petak kenangan yang terjadi memiliki arti tersendiri, membawakan bekal di masa datang, aku mulai banyak bersyukur atas sebab akibat pusaran waktu yang pernah kugayuh.
Bila lebaran tiba, anak-anak kakek buyutku yang tinggal di kota berdatangan sowan ke kampung. Mereka selalu membawa ritual berbox-box lungsuran. Ada baju, sepatu, mainan, dan amplop berisikan uang ribuan. Semua mendapatkan jatah rata, aku paling senang mendapatkan sepatu. Sejak TK, ibu membiasakan aku untuk hidup sederhana. Tidak membeli barang yang sudah tersedia. Yang layak pakai untuk beberapa tahun mendatang. Seperti lungsuran sepatu itu. Aku harus menanti pintalan tahun berganti jika tak ada lungsuran sepatu yang dibagi.