Biru, Jatuh Hati [#15HariNgeblogFF2]

Biru, Jatuh Hati
By: Nyi Penengah Dewanti




    Gandi dan gadisnya menghirup napas ombak dengan beberapa tarikan. Aroma pantai menyesap ke dalam sel-sel otaknya. Membuka sedikit memori tentang masa lalu yang beranak-pinak dalam hatinya. Gadisnya tentu saja tidak mungkin mengetahui apa yang dipikirkan Gandi saat ini. Yang ia rasakan adalah Gandi memegang erat tangannya sepanjang pesisir pantai, Gandi miliknya saat ini, entah besok, dan kelak. Gadisnya berjanji akan mempertahankan hubungannya dengan Gandi seberat dan sesulit apa pun.

    Ombak laut terus menderu, kaki-kaki telanjang mereka berdua terus digerus kawanan air. Berganti dengan gulungan ombak yang baru lagi, begitu seterusnya. Langit dan laut seakan bersatu memutar lingkar pemandangan. Matahari yang semakin meninggi tak menyurutkan sepasang muda-mudi itu menghabiskan waktu.

    “Sayang ntar malam jadikan kamu ke rumahku, ketemu sama papaku?” tanya gadisnya menoleh ke arah mata Gandi yang masih kosong.

    Gadis itu lalu menyandarkan kepalanya di bahu Gandi, tanpa melepaskan genggaman tangannya, malah semakin erat dan erat lagi.

    Sementara dari kejauhan ada perahu nelayan yang akan menepi. Perahu yang tidak begitu besar. Tapi biasa disewakan untuk para pengunjung yang ingin berwisata ke tengah-tengah pantai. Melihat geriap laut, menatap ikan-ikan kecil yang bergerombol membentuk formasi. Gandi dan gadisnya sedikit menepi, tapi tidak beranjak dari tempat semula. Nelayan itu memasang jangkarnya pada pasir putih tempatnya biasa mangkal.

    “Mau naik Mas-Mbak?” nelayan itu langsung bertanya kepada mereka setelah menancapkan jangkarnya dengan mulus.

    Wajah gadis Gandi berbinar menampakkan antusias ajakan nelayan itu, “Sayang, sekali-sekali temani aku yuk naik perahu. Masak aku sendirian terus,” rajuk gadisnya kepada Gandi.

    “Kamukan tahu aku mabuk laut. Aku temenin dari sini aja ya,” kata Gandi tanpa rasa bersalah.
   
    “Oke, yaudah nggak apa-apa.”

    Bersamaan dengan naiknya gadis Gandi, beberapa pasangan mulai turun dari perahu digantikan dengan penumpang yang baru. Penumpang terakhir turun, seorang wanita dengan rambut tergerai panjang, berponi rapi dengan bandana pita menghias rambutnya. Gandi menatap tanpa berkedip. Ia hafal mati bandana itu, bandana itu dibuatnya tulus dengan rasa cinta. Bandana yang tidak dijual ditoko mana pun. Ia membuatnya sendiri malam-malam sebelum pertemuan dengan seseorang di masa lalunya. Gadis Gandi melambai, Gandi tidak melihatnya. Kini Gandi malah mengikuti wanita itu di belakangnya.

    “Maaf Mbak, boleh saya tahu Mbaknya beli bando itu di mana ya?”

    “Di dekat pintu keluar sebelah sana Mas,” tunjuk wanita itu ke toko yang dimaksud.

    Mata Gandi nyalang. Kakinya berlari sekuat kemampuan, terik matahari terus menyengat ubun-ubun kepalanya. Gemuruh hatinya mengalahkan teriakan ombak di laut. Akal dan hatinya bersipompa menebak-nebak siapakah yang membuat bandana itu, bandana yang pernah dibuatnya seperti dua tahun lalu.

    OPEN. Tulisan itu tertempel pada pintu ruko yang paling kecil. Penuh hiasan kerang-kerangan. Berbagai pernak-pernik dipajang di sana. Ada beberapa lukisan laut pun ikut menyemarakkan ruko yang menyempil di antara deretan ruko-ruko besar. Dengan tangan gemetar Gandi membuka daun pintu.

    Tring…tring… hiasan seperti bambu di atas pintu berbunyi dan bergoyang. Seorang laki-laki menyambut Gandi dengan senyuman, “Silahkan Mas dilihat-lihat kalau ada yang cocok.” Gandi mengangguk, dentuman lagu The All American Rejects– I wanna di dalam ruko kecil itu menambah kalut hati Gandi.

    Gandi berjalan memutari beberapa estalase. Ia menemukan bandana berbagai warna dengan model sama yang pernah dibuatnya terpajang manis di sana. Jahitannya lebih rapi, lebih bagus dari buatannya. Modelnya juga dibuat berbeda-beda, ada yang berenda, bermute, berhias kerang.

    “Boleh saya tahu siapa pembuat bandana ini Mas?” tanya Gandi sopan.

    “Oh, adik saya Mas. Sebentar ya?”

    “Senja! Ke depan sebentar dong. Ada yang mau ketemu,” teriak penjaga ruko lantang.

    Rok tulip berwarna orange itu membalut tubuh gadis yang sedang berjalan ke depan ruko. Vest dari brokat yang tampak pas ditubuhnya memberikan padu padanan yang apik, kalung kerang terjuntai di dadanya, manis.

    “Ada apa Bang?” tanya Senja penasaran.

    “Mas ini mau ketemu kamu,” Gandi menatap nanar.

    “Beib…” desis Gandi pelan.

    “Nama saya Senja,” gadis itu menawarkan tangannya. Gandi tak membalas. Senja bingung.

    “Maaf, Mas mengenal Senja? Dia kecelakaan bersama tukang ojek yang membawanya ke pantai Pangandaran ini, terpental jatuh dengan kepala berlumuran darah. Dokter bilang amnesia, dia tak membawa apa-apa selain uang seratus ribu disaku celananya.”

    Senja tersenyum mengagguk, Gandi tak tahan, secepat kilat ia tarik tubuh Senja ke dalam pelukannya,“Beib ini aku… Gandi.”

***
    *)697 words with titlle
   

Postingan Terkait

3 komentar:

Terima kasih sudah mampir ke blog sederhana saya, salam hangat