Flash Fiction, Secangkir Kopi dan Bayangmu

Secangkir Kopi dan Bayangmu

Nyi Penengah Dewanti

 


puisi pendek puisi cinta puisi pendidikan puisi persahabatan puisi estetik
Flash Fiction, Secangkir Kopi dan Bayangmu



Di sudut cafe aku duduk menatap luar jendela. Setahun lalu kita pernah menikmati hujan dengan secangkir kopi untuk berdua.

 

 “Irit,” katamu.

 

Kita sama-sama tak memegang uang. Bukan uang yang kita butuh dalam menguatkan hubungan.

 

 

“Tapi kebersamaan,” bisikmu kemudian.

 

Beberapa pasang sejoli wara-wiri menatap kita, apalagi pelayan toko melirik penuh selidik. Kau cuek, aku sedikit tidak enak namun bahasa tubuhku, kubuat sebiasa mungkin.

 

“Takut apa? Kita tidak mencuri, kita berteduh gratis. Dengan cara memesan secangkir kopi untuk menghormati.”

 

***

 

Pada suatu malam ketika bunyi-bunyian terompet membahana di seluruh belahan dunia. Kau mendekatiku dengan sepenuh jiwamu, bibirmu mengecup kening lalu perlahan turun mengikuti irama bisikan hati. Ada bara di balik tiraimu yang manja, aku mulai terlena. Lalu ada dosa-dosa berterbangan melalui udara. Subuh tiba, semua sirna, hilang tak bersisa dan kita kembali seperti biasa.

 

Apa yang terjadi? Entahlah… silakan simpulkan sesuka yang kau bisa tangkap. Aku tak mampu mengungkap. Karena semua perlahan mencecap ketika mata bertemu mata. Bibir tak sanggup mengucap. Mengalirlah setancap demi setancap kecup melindap hangat. Mendekat lalu memikat, membuatku terpikat kemudian mengikat dengan sendirinya.

 

***

 

 “Apa sudah kau temukan rumah keluarganya Shin?” ibu menuang secangkir kopi yang dibaginya pada cangkir lainnya. Tanpa tumpah, tanpa ada sepercik cairan hitam yang menetes pada tatakan.

 

Aku menggeleng, lalu menyeruput kopi tanpa gula. Sedap, nikmat terasa mengalir melalui rongga mulut perlahan mengalir ke perut. Ada yang menendang-nendang di sana. Ada yang berontak meminta tambah. Semburat bayang menggelepar tajam dalam ingatan. Ada luka yang terkoyak sesaaat.

 

 

***

Dulu aku tak menyukai kopi yang pahit. Getirnya waktu, takdir yang menjamah. Membuatku berfikir berkali-kali untuk menegaknya. Diantara kekalutan, bersama beribu-ribu malam yang dituang langit. Tanpa peluk dan dekapan sang pelindung yang pernah singgah. Secangkir kopi mulai menemani hari-hariku. Bersama bulan yang menggantung seperti jeruk, ada bayangmu di bawahnya. Sambil kuurut-urut perutku yang terasa geli. Ibu mulai curiga, memperhatikanku lekat, bola matanya tak berkedip dan bergerak. Ibu mendekat, aku berjingkat mudur, “Ibu!” wajahku menahan pias.

 

“Apa yang yang kau sembunyikan dari balik sarung yang menutup perutmu Shin?”

 

 “Ini Bu, ini bantal. Ya… bantal yang mulai membesar.” (*)


Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir ke blog sederhana saya, salam hangat