LEBARANKU ASIK SEKALEEE .... (Versiku)
LEBARANKU ASIK SEKALEEE ....
Ini Lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya, tanpa ibu, ayah, adik, dan
kakak. Lebaran yang jauh di rantau. Untunglah lebaran kali ini aku
mendapatkan jatah libur, jadi kupergunakan untuk sholad id di distrik
Shatin. Takbir yang kami ucapkan bertalu-talu di hati, bibir menggemakan
lafal takbir, hati membasah, dan mata menangis. Kami sungguh
merindukkan rasannya mudik di kampung. Kami mendambakan rasanya bisa
berlebaran bersama keluarga dan saudara. Dan kami ingin sekali rasanya
mencicipi opor ayam dan lontong sebagai jamuan istimewa saat lebaran.
Aku menghubungi nomor telepon ibuku untuk meminta maaf, beberapa kali
telepon tersambung tapi tak terangkat, aku mencoba lagi dan bisa,
Alhamdulillah.
“Assalamualaikum, Buk. Ini Dewi, minal aidzin wafaidzin ya Buk,” kataku lugas.
“Podo-podo ya Nduk. Maafin ibuku juga kalo ada salah kata, Ibuk di
Jogja ini,” aku sedikit heran atas pemberitahuan ibuku barusan, bahwa
beliau di Jogja.
“Kok bisa Buk? Ndak lebaran di rumah to?” tanyaku penasaran.
“Ibuk diajak bos Ibu, rewangnya yang dua mudik. Ibu ndak tega lihat
anak-anak nggak keurus,” jawab ibuku enteng disertai derai air mata,
suaranya sudah setengah bindeng.
Lihatlah Ya Allah, di hari
lebaran ibuku masih bekerja, mengurus ketiga anak bosnya. Ibu tidak
memikirkan kesenangannya sendiri. Ibu, aku sungguh mencintaimu, aku
rindu ibu. Aku sengaja tak bertanya kenapa ibu menangis, aku tahu ibu
merindukan berkumpul dengan kami.
“Nduk, kamu telepon bapak ya?” aku diam tak menjawab, “seburuk dan sejahat bapak, beliau tetaplah bapakmu,” suara ibu memabar.
“Aku males, Buk. Mas Bayu sama adek memangnya juga telepon? Ndak to?
Aku juga ndak mau,” jawabku ragu-ragu dan wajah bapakku mulai
berkelebat.
“Yaudah Ndak usah ndak apa-apa,” akhirnya ibu
lebih memilih mengalah. Aku menutup telepon karena harus bertemu dengan
temanku, ibu juga terlihat sudah mulai sibuk bekerja, jadi aku tak
mungkin mengganggu beliau.
Bapak? … Ibu selalu menempatkan
bapak di tempat yang memang seharusnya. Ibu tak pernah sedikit pun
membenci bapak atau menggeser bapak untuk kami lupakan, di atas
kelakuannya yang tidak sepadan dengan kasih sayang ibu untuknya, di hari
yang fitri ini, maafkan aku bapak, aku sungguh tak sanggup berbicara
denganmu. Cukup Allah yang tahu bahwa maaf ini selalu ada untukmu. Darah
kental yang mengalir ditubuhku, tak akan pernah bisa mengingkari bahwa
engkau adalah bapakku. (*)
SUASANA SHALAT ID DI SHATIN
LEBARANKU ASIK SEKALEEE ....
Ini Lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya, tanpa ibu, ayah, adik, dan kakak. Lebaran yang jauh di rantau. Untunglah lebaran kali ini aku mendapatkan jatah libur, jadi kupergunakan untuk sholad id di distrik Shatin. Takbir yang kami ucapkan bertalu-talu di hati, bibir menggemakan lafal takbir, hati membasah, dan mata menangis. Kami sungguh merindukkan rasannya mudik di kampung. Kami mendambakan rasanya bisa berlebaran bersama keluarga dan saudara. Dan kami ingin sekali rasanya mencicipi opor ayam dan lontong sebagai jamuan istimewa saat lebaran. Aku menghubungi nomor telepon ibuku untuk meminta maaf, beberapa kali telepon tersambung tapi tak terangkat, aku mencoba lagi dan bisa, Alhamdulillah.
Ini Lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya, tanpa ibu, ayah, adik, dan kakak. Lebaran yang jauh di rantau. Untunglah lebaran kali ini aku mendapatkan jatah libur, jadi kupergunakan untuk sholad id di distrik Shatin. Takbir yang kami ucapkan bertalu-talu di hati, bibir menggemakan lafal takbir, hati membasah, dan mata menangis. Kami sungguh merindukkan rasannya mudik di kampung. Kami mendambakan rasanya bisa berlebaran bersama keluarga dan saudara. Dan kami ingin sekali rasanya mencicipi opor ayam dan lontong sebagai jamuan istimewa saat lebaran. Aku menghubungi nomor telepon ibuku untuk meminta maaf, beberapa kali telepon tersambung tapi tak terangkat, aku mencoba lagi dan bisa, Alhamdulillah.
“Assalamualaikum, Buk. Ini Dewi, minal aidzin wafaidzin ya Buk,” kataku lugas.
“Podo-podo ya Nduk. Maafin ibuku juga kalo ada salah kata, Ibuk di Jogja ini,” aku sedikit heran atas pemberitahuan ibuku barusan, bahwa beliau di Jogja.
“Kok bisa Buk? Ndak lebaran di rumah to?” tanyaku penasaran.
“Ibuk diajak bos Ibu, rewangnya yang dua mudik. Ibu ndak tega lihat anak-anak nggak keurus,” jawab ibuku enteng disertai derai air mata, suaranya sudah setengah bindeng.
Lihatlah Ya Allah, di hari lebaran ibuku masih bekerja, mengurus ketiga anak bosnya. Ibu tidak memikirkan kesenangannya sendiri. Ibu, aku sungguh mencintaimu, aku rindu ibu. Aku sengaja tak bertanya kenapa ibu menangis, aku tahu ibu merindukan berkumpul dengan kami.
“Nduk, kamu telepon bapak ya?” aku diam tak menjawab, “seburuk dan sejahat bapak, beliau tetaplah bapakmu,” suara ibu memabar.
“Aku males, Buk. Mas Bayu sama adek memangnya juga telepon? Ndak to? Aku juga ndak mau,” jawabku ragu-ragu dan wajah bapakku mulai berkelebat.
“Yaudah Ndak usah ndak apa-apa,” akhirnya ibu lebih memilih mengalah. Aku menutup telepon karena harus bertemu dengan temanku, ibu juga terlihat sudah mulai sibuk bekerja, jadi aku tak mungkin mengganggu beliau.
Bapak? … Ibu selalu menempatkan bapak di tempat yang memang seharusnya. Ibu tak pernah sedikit pun membenci bapak atau menggeser bapak untuk kami lupakan, di atas kelakuannya yang tidak sepadan dengan kasih sayang ibu untuknya, di hari yang fitri ini, maafkan aku bapak, aku sungguh tak sanggup berbicara denganmu. Cukup Allah yang tahu bahwa maaf ini selalu ada untukmu. Darah kental yang mengalir ditubuhku, tak akan pernah bisa mengingkari bahwa engkau adalah bapakku. (*)
“Podo-podo ya Nduk. Maafin ibuku juga kalo ada salah kata, Ibuk di Jogja ini,” aku sedikit heran atas pemberitahuan ibuku barusan, bahwa beliau di Jogja.
“Kok bisa Buk? Ndak lebaran di rumah to?” tanyaku penasaran.
“Ibuk diajak bos Ibu, rewangnya yang dua mudik. Ibu ndak tega lihat anak-anak nggak keurus,” jawab ibuku enteng disertai derai air mata, suaranya sudah setengah bindeng.
Lihatlah Ya Allah, di hari lebaran ibuku masih bekerja, mengurus ketiga anak bosnya. Ibu tidak memikirkan kesenangannya sendiri. Ibu, aku sungguh mencintaimu, aku rindu ibu. Aku sengaja tak bertanya kenapa ibu menangis, aku tahu ibu merindukan berkumpul dengan kami.
“Nduk, kamu telepon bapak ya?” aku diam tak menjawab, “seburuk dan sejahat bapak, beliau tetaplah bapakmu,” suara ibu memabar.
“Aku males, Buk. Mas Bayu sama adek memangnya juga telepon? Ndak to? Aku juga ndak mau,” jawabku ragu-ragu dan wajah bapakku mulai berkelebat.
“Yaudah Ndak usah ndak apa-apa,” akhirnya ibu lebih memilih mengalah. Aku menutup telepon karena harus bertemu dengan temanku, ibu juga terlihat sudah mulai sibuk bekerja, jadi aku tak mungkin mengganggu beliau.
Bapak? … Ibu selalu menempatkan bapak di tempat yang memang seharusnya. Ibu tak pernah sedikit pun membenci bapak atau menggeser bapak untuk kami lupakan, di atas kelakuannya yang tidak sepadan dengan kasih sayang ibu untuknya, di hari yang fitri ini, maafkan aku bapak, aku sungguh tak sanggup berbicara denganmu. Cukup Allah yang tahu bahwa maaf ini selalu ada untukmu. Darah kental yang mengalir ditubuhku, tak akan pernah bisa mengingkari bahwa engkau adalah bapakku. (*)
SUASANA SHALAT ID DI SHATIN |
:( ikutan sedih mbacanya, mbak..
BalasHapussiip..kekuatan memaafkan akan membuat kita kuat, mbak..
percayalah..
memaafkan adalah memberi sedikit ruang pada rasa benci. :)
BalasHapushappy ied mubarak, nduk. maaf lahir batin yah ^^
Minal Aidin Wal Faizin ya mbak. Mohon maaf lahir dan bathin. Semoga ramadhan kemarin menjadikan kita sosok yg mampu meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT.
BalasHapusSabar ya mbak. Semoga Allah SWT akan memberikan kebahagian dan menghapus mendung di kehidupan mbak dan keluarga
Masya Allah ... ibumu sungguh baik ya Nyi. Terharu saya membacanya.
BalasHapusMet lebaran ya .. maaf lahir batin