Di Muat di Tabloit Apakabar (mei)


Cerpenku di Tabloid Apakabar dengan judul "Sumur Keramat"

 Sumur Keramat
By : Nyi Penengah Dewanti


Avinda memberi Muffi sebuah ide untuk mendatangi sumur keramat di daerah Kuncen, Pegandon. Katanya sudah terbukti kedahsyatannya hingga ke kota. Orang-orang berbondong-bondong datang mengunjungi sumur keramat tiap Jum’at kliwon. Dan itu artinya sumur keramat beroperasi setiap sebulan sekali.

“Ini kesempata Muff. Kamu masih cinta kan sama Ifan?” katanya di sela-sela tugas dari dosen psikologi. Muffi mengangguk dan matanya menatap bola mata Avinda penuh harap.

“Tapi aku takut, kamu kan tau aku paling anti sama hal-hal yang berbau mistis. Itu namanya mempersekutukan Allah dengan yang lain,” katanya Muffi keukeh.

“I know dear… demi ketakutan atau demi cinta agar bisa bertahan lama? the decision is in your hands!” Mata Avinda menyalak tegas.

“Tapi kita udah putus Vin, mau digimanain juga cinta Ifan buat aku udah ilang,” gurat wajah Muffi menampakan kekecewaan yang dalam.

“Makanya, aku sebagai sahabat kamu ngasih pilihankan?” mata Vinda seolah ikut bertanya.

“Ya tapi nggak ada cara lain apa?”

“Ada sih, pake pelet! Mau?” bulu kuduk Muffi seketika begidik ngeri.

“Sumpah ya Vin, aku nggak sekejam itu. Ntar kalo peletnya balik nyerang kita gimana?” tanya Muffi dengan rasa penasaran yang membuncah.

“RESIKO! Sumur keramat satu-satunya jalan paling aman, besok kamis setelah kelas kita langsung ke sana. Medannya agak jauh dari kota. Masalah pembayaran biar aku yang tanggung.” kata Avinda mantap.

***

Tepat pukul dua siang Avinda dan Muffi meninggalkan pelataran kampus salah satu universitas di Semarang itu. Tubuh-tubuh langsing mereka turut memenuhi macetnya lalu lintas di daerah Tugu. Cahaya matahari menerpa wajah-wajah cantik mereka. Muffi yang masih setengah tanggung, setengah ragu terlihat gelisah dari kaca spion motor yang dikendarai Avinda.

“Tenang aja Muff, temen-temenku udah sering ke sana kok buat minta air dari sumur keramat itu. Dan emang bener manjur kata mereka,” kata Avinda meyakinkan Muffi di pemberhentian lampu merah, saat mereka sedang menunggu lampu hijau menyala. Antara percaya dan tidak Muffi terlihat agak cerah wajahnya.

Jarak tempuh satu jam membuat pantat-pantat mereka pegal. Perut mereka bernyanyi keroncong, membuat Avinda berhenti di salah satu warung sate yang terletak di jalan Soekarno Hatta daerah Cepiring.

“Kita makan dulu ya Muff, bentar lagi juga sampai udah deket kok.”

“Aku lagi nggak nafsu banget nih Vind,” keluh Muffi.

“kamu harus makan! Putus cinta bukan berarti dunia berhenti. Masih banyak yang harus dikerjain dari pada menyesali yang udah terjadi. Dan sebentar lagi aku yakin Ifan bakalan balik lagi ke kamu kalau sudah meminum air dari sumur keramat itu,” diantara sendok dan piring yang berdentang-denting itu Avinda sahabat Muffi memberikan suntikan semangat.

Berbekal kertas alamat dari temannya Avinda. Avinda sedikit lupa dengan daerah Kuncen. Dia datang ke tempat ini kira-kira empat tahun lalu, kemungkinan hafal sangat riskan sekali. Tapi ia tidak menyerah dan terus bertanya-tanya.

Sawah-sawah menghampar luas, pohon asem berdiri di sepanjang jalan Pegandon. Banyak tikungan dan jalan berlobang yang harus dilewati tidak membuat Avinda menyerah. Demi sahabatnya apapun dilakukan, yah… demi senyum seorang sahabat yang cintanya kandas karena diselingkuhi. Untuk membuat Ifan mantan pacar Muffi jera, Avinda mengambil jalan pintas ini. Mendatangi sumur keramat, meminta air dari sumur itu untuk diminumkan nantinya.

Gerbang desa sudah terlihat, rumah pemilik sumur keramat mbah Sasmito sudah bisa ditebak paling misterius. Di depan rumah itu terpajang patung-patung jaman dahulu, ukiran kayu jati menghiasi tiang rumah yang besar namun tampak suram. Pohon-pohon besar tampak rindang, menjulang, dan menaungi atap rumah mbah Sasmito. Rumah itu ramai pengunjung, yang mengantri sampai melewati batas pagar. Avinda dan Muffi tampak kegerahan menunggu antrian yang mengular itu.

“Jadi bagaimana Mbah? Bisa ndak mantan pacarnya teman saya ini kembali,” tanya Avinda sopan.

“Oh bisa,” mbah Darmo mengelus jenggotnya yang tebal.

“Mau paket biasa apa special? Kalo special pelicinnya lebih besar,” mata mbah Darmo melotot.

“Special Mbah! Biar langsung manjur nggak perlu nuggu,” mbah Darmo mengambil air yang sudah diisi dalam ukuran gelas aqua.

“Suruh dia minum sampai habis, beberapa menit kemudian akan bereaksi. Ketika dia minum rapalkan jampi-jampi yang Mbah sudah tulis di kertas buram ini. Mengerti!” kata Mbah Darmo dengan sedikit menggelegar bicaranya. Membuat Muffi meringkuk ketakutan. Avinda pun demikian, tapi ditahannya rasa takut itu.
***
Karena si Ifan suka sekali futsal, dengan sengaja Muffi menunggu di lapangan atas saran Avinda. Jika sudah melihat Ifan mulai berkeringat dan lelah berlari, Muffi harus sigap memberikan air aqua dari mbah Darmo, agar efeknya juga bisa langsung dilihat. Ifan agak kaget, dengan kedatangan Muffi pasalnya mereka sudah putus. Dan pacar baru Ifan juga sedang dalam perjalanan untuk mensuportnya dalam pertandingan.

“Hei Fan, aku bawain minuman ini. Diminum ya, aku udah datang jauh-jauh lho ya,” Ifan keki tapi dia terima juga. Saat tutup botol itu sudah dibuka, mulutnya spontan terbuka air mineral itu hampir memerciki tenggorokannya yang kering. Tapi teriakan pacar baru Ifan menghentikan aksi itu. Ifan hanya menelan ludahnya sendiri.

“Beib, aku udah bawain minuman kamu dari rumah. Ini lebih bersih dan higenis,” kata pacar baru ifan yang bernama Tika itu. Ifan tak berkutik, ia bingung juga kasihan sama Muffi sudah datang dari jauh lantaran mereka beda kota. Muffi kesal dan meninggalkan lapangan itu, Avinda yang sudah menunggu di luar langsung menerjang Muffi dengan banyak pertanyaan. Tangan Avinda memberi isyarat “gimana”?

“Gagal Vind, balik yukk,” Avinda melongo.

“Ifan nggak minum, keburu selingkuhannya datang.”

“Trus?”

“Ya dia mending milih minum dari tuh cewek lah,” wajah Muffi jadi cemberut. Saat akan meninggalkan pelataran parkir. Seorang cowok berbadan gagah menghentikan laju motor mereka. Cara dia menatap memperlihatkan aura terpesona.

“Hei, boleh kenal nggak? Aku Surya,” ia mengulurkan tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang botol yang tak asing lagi. Avinda dan Muffi saling tatap dan mereka menyiapkan ancang-ancang menarik motor secepatnya. Cowok itu masih mengejar, Avinda menambah gigi motor dan wusss… motor melaju membelah jalan.

“Kyaaaaaa…. Dasar sumur keramat! “ keduanya berteriak diantara deru motor dan angin kencang yang bersaing dengan asap. (*)

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir ke blog sederhana saya, salam hangat