cerpenku di Tabloid Apakabar (Februari) judul "Gempa Kecil Di Hatiku"


Gempa Kecil di Hatiku
By: Nyi Penengah Dewanti


    Kalau tidak karena mama memohon padaku untuk menggantikannya mengajar sepekan. Aku pasti sudah bersama teman-temanku menikmati indahnya Danau Maninjau di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Sudah jauh-jauh hari kami merencanakannya, acara sahabatku Eliva melepas masa lajangnya. Dan permintaan mama mengacaukan segalanya.

    “Ayolah Mell, hanya sepekan saja. Mama harus menengok Bude kau yang sakit. Apa kau tega membiarkan Budemu sendirian di Rumah Sakit tanpa seorang pun yang menemaninya di sana?”

    “Tapi Mell nggak suka anak kecil, Mama taukan Mell alergi dengar mereka merengek, apalagi menangis. Mell nggak suka Ma!” aku memasang wajahku yang sebal di hadapan mama.

    “Bukannya kamu juga dulu pernah kecil? Dunia anak-anak itu menyenangkan Mell, kelak kau juga akan menjadi seorang ibu. Kau juga harus belajar memahami bagaimana menjadi seorang ibu yang baik. Dengan mengajar di tempat ibu akan banyak membantumu di kemudian hari.” Mata mama mengerling membujukku.

    “Baiklah kalo kau masih tidak mau. Bagaimana kalo mama ganti dengan tiket PP plus menginap di hotel berbintang ke Danau Maninjau sebagai ganti mengajarmu yang sepekan itu?” lalu mama berjalan ke meja telepon di sebelahku. “Mama langsung booking tiketnya, apa kau masih mengelak tidak ingin?”

    Tawaran menarik, secercah roman bahagiaku terlihat antusias dengan penawaran mama, “Mell setuju Ma.” Mama terkekeh melihat polah tingkahku yang materealistis.

***

    Otakku semakin lelah tak karuan. Aku bisa menghandel semuanya dengan baik. Kecuali anak didikku satu itu. Nakalnya nggak ketulungan. Aku jadi berfikir apakah sanggup juga orangtuanya mengurusi ia di rumah. Apa jangan-jangan dia di rumah berlagak jadi anak yang pendiam dan tidak banyak maunya. Tapi di sini , di kelasku semuanya menjadi berantakkan.

    Kadang aku berharap dia akan berhenti sekolah atau mogok masuk,  karena ketidaksukaanku. Nyatanya dia semakin aktif dan giat mengerjakan semua yang kuperintahkan.

    “Ini menantang Bu Guru,” katanya kemarin waktu kuberi tugas menulis kegiatannya sehari-hari dan mimpi apa yang menjadi cita-citanya. Tahu apa soal tantangan anak sekecil itu, tapi aku bangga padanya. Semua dikerjakan dengan baik, sungguh dia murid yang paling sulit kuatasi juga paling kurindukan.

    ***
    Ia berulah lagi, saat pelajaran mengunting membuat prakarya menempel gambar. Entah apa yang merasuki alam sadarnya, kertas gambar temannya digunting habis menjadi repihan kotak setengah tanggung, tidak juga kecil. Ia mengadu kepadaku, lalu ia mogok masuk kelas jika ada Kenzie. Nama murid biang keonaran itu Kenzie pratama. Nama yang bagus bukan? Tapi dengan ulah dan polahnya, aku sedikit miris juga.

    Dengan halus kucoba berbicara baik-baik dengannya di ruang guru. Tapi dia enggan menjawab, mengacuhkanku. Ia bermain-main dengan jari-jari tangannya.

    “Ohya Ken, apa pekerjaan rumah kemarin sudah dikerjakan?” tanyaku mengambil alih pembahasan soal kenakalannya. Ia menatapku, ada seulas senyum.

    “Aku mengerjakannya dengan baik Bu,” bola matanya mengerling kelihatan bahagia.

    “Apa saja yang kau tulis, boleh ibu membacanya sekarang?” ia meraih tas yang dikenakannya di punggung. Dia kupisah dengan teman-teman sekelasnya agar pelajaran mengajar tidak terganggu, hanya kurang 10 menit jam sekolah selesai.

    Untukk ibu guruku yang baik hati:

    Sepulang sekolah Ken menyusul nenek ke sawah. Kami akan makan siang di sana dengan bekal yang dibawa nenek dari rumah. Ken duduk di gubuk menulis tugas dari sekolah. Menunggui nenek mengusir burung yang hinggap di tanaman padi.

    Aku berhenti membaca sekilas, kuamati ia masih asyik bermain dengan gelang karet. Lalu kemana ibunya… itu yang jadi pertanyaanku kemudian.

    Menjelang matahari hilang, Ken pulang sama nenek. Mandi lalu bergegas mengaji ke surau. Pulangnya Ken makan malam dan belajar lagi ditemani nenek. Kadang kalo mamak menelpon dari jauh, Ken akan menanyakan peer yang sulit kepada mamak. Mamak membantu Ken mengerjakannya.

    Mimpi dan cita-cita Ken, ingin membahagiakan mamak. Pingin mamak pulang, biar Ken yang kerja kalo Ken sudah besar. Ken kangen sekali sama mamak. Ken pingin ketemu mamak. Mamak sama nenek nggak boleh capek-capek lagi.

    Hatiku berguncang, jadi ini masalah inti dari kenakalannya. Jauh dari ibu, hanya dirawat nenek. Aku bisa membayangkan betapa gigihnya perjuangan dua wanita itu. Sepenuh hatiku berontak merasa bersalah, karena selama ini telah banyak beburuk sangka kepada anak didikku. Aku terkesiap ketika di lembar terakhir ada sebuah coretan lagi, ditulis dengan tinta berbeda.

    Mak, maafin Ken tadi di sekolah. Mereka bilang Ken tak punya  orangtua. Ken masih punya mamak sama nenek. Mereka tak percaya, karena mamak tidak pernah mengantarkan Ken ke sekolah. Ken bilang mamak kerja, mereka jawab kerja kok nggak pernah pulang. Ken marah mak, Ken gunting-gunting bukunya. Mamak jangan marah ya mak, Ken janji itu kenakalan Ken yang terakhir. Ken harus jadi anak yang baik seperti kata mamak, kecuali mereka menghina mamak. Ken kangen mamak, juga sama bapak di syurga.

    Tubuhku meluruh lemas tertunduk di hadapannya. Ia bergegas pura-pura duduk tegap dan berhenti memainkan gelang karetnya. Kupeluk tubuh kecil dan ringkihnya, betapa berat cobaan yang harus ditanggungnya. Tumbuh tanpa kasih sayang orangtua, saat itu aku memutuskan untuk menjadi ibu angkatnya.
***
    Sekarang aku menyadari, aku terlalu serakah untuk menerima semua ini. Terlalu banyak nikmat Tuhan yang kudustakan. Aku punya segalanya. Tapi bocah ini, harus merela dengan pasrah ditinggalkan ibunya yang jauh merantau ke negri seberang. Neneknya? Wanita yang seharusnya menikmati masa tuanya dikelilingi dengan anak dan cucu membuat hari-harinya ceria. Harus padam karena tuntutan ekonomi dan masa depan lebih menjanjikan. Bersyukur atas apa yang kamu punya adalah salah satu ciri untuk menerima lebih banyak lagi.
    Kuraih blackberry dari dalam tas kesayanganku. Sebuah pesan singkat kuketik untuk seseorang yang telah mengajariku arti hidup.

    Ma, tiket perjalanan ke Danau Maninjau dicancel aja. Mell ingin menggantikan mama mengajar sepekan lagi. Mama jagain Bude aja di sana. Thanks ya Ma.

    Seulas senyum merekah diantara hati keduannya. (*)

Postingan Terkait

1 komentar:

  1. hebat ey... minta alamat kirim ke majalah-majalah dong, pingin nyoba ngirim..

    BalasHapus

Terima kasih sudah mampir ke blog sederhana saya, salam hangat